Ketidakpatuhan Administratif Perguruan Tinggi Swasta dan Dampaknya bagi Mahasiswa




Oleh: Muhammad Nurdin Hadi Mujibul Fatah

Wakil Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga Bakornas LAPENMI PB HMI


Memasuki masa penerimaan mahasiswa baru tahun 2025, calon mahasiswa dan orang tua perlu mencermati aspek fundamental dalam memilih perguruan tinggi. Salah satu yang sering terabaikan adalah masalah kepatuhan administratif perguruan tinggi swasta (PTS). Persoalan ini bukan sekadar urusan administrasi biasa, melainkan menyangkut validitas akademik dan masa depan profesional lulusan.


Faktanya, masih banyak PTS yang mengabaikan aspek administratif ini dengan dampak yang serius. Beberapa bahkan berani mengklaim telah beralih bentuk, misalnya dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) menjadi Institut, padahal proses administratifnya belum tuntas. Praktik semacam ini sangat berisiko karena jika tetap menerbitkan ijazah, maka lulusannya akan dirugikan di kemudian hari. Hal ini dipertegas dalam Permendikbudristek Nomor 50 Tahun 2024 tentang Ijazah, yang mensyaratkan bahwa ijazah hanya boleh diterbitkan oleh program studi dan perguruan tinggi yang terakreditasi.


Ketidakpatuhan administratif PTS dapat menimbulkan konsekuensi hukum mulai dari sanksi administratif hingga pencabutan izin operasional. Yang lebih memprihatinkan, melalui sistem PDDIKTI (https://pddikti.kemdikbud.go.id/), masyarakat dapat menemukan perguruan tinggi ternama yang status akreditasinya justru menunjukkan tanda strip (-), dengan data pelaporan yang kosong sejak 2021. Kondisi ini tidak bisa dibenarkan dengan alasan migrasi data atau proses alih bentuk, karena perguruan tinggi yang profesional seharusnya menyelesaikan seluruh administrasi sebelum membuka penerimaan mahasiswa baru.


Data empiris dari LLDIKTI Wilayah IV tahun 2024 memperlihatkan gambaran yang memprihatinkan. Terdapat 12 PTS di Jawa Barat yang menerima peringatan administratif karena berbagai pelanggaran. Yang lebih mengkhawatirkan, tercatat 5 kasus penolakan ijazah oleh perusahaan BUMN akibat status akreditasi yang bermasalah. Salah satu korban nyata adalah Fulan (25), lulusan sebuah PTS di Jawa Barat, yang mendapati ijazahnya tidak diakui karena ketidakjelasan status akreditasi program studi yang ditempuhnya.


Fenomena ini muncul akibat beberapa faktor krusial. Di tingkat pengelola, lemahnya pengawasan internal dan minimnya kesadaran hukum menjadi penyebab utama. Sementara di sisi calon mahasiswa, kurangnya literasi administratif turut memperparah keadaan. Banyak calon mahasiswa yang hanya terpukau pada fasilitas fisik atau janji-janji muluk tanpa memverifikasi status administratif perguruan tinggi yang dituju.


Untuk mengatasi masalah ini, calon mahasiswa harus proaktif memanfaatkan kemajuan teknologi dengan melakukan verifikasi mandiri melalui PDDIKTI. Langkah ini penting untuk mengantisipasi kerugian materil dan immateril di masa depan. Sementara itu, pemerintah perlu memperketat pengawasan dan menerapkan sanksi tegas bagi PTS yang melanggar. PTS sendiri harus memprioritaskan penyelesaian masalah administratif sebelum membuka penerimaan mahasiswa baru.


Pada akhirnya, ketidakpatuhan administratif PTS adalah masalah sistemik yang memerlukan penanganan komprehensif. Dengan meningkatkan kewaspadaan dan memanfaatkan saluran verifikasi yang tersedia, calon mahasiswa dapat melindungi masa depan akademik mereka. Sementara itu, PTS dan pemerintah harus bekerja sama untuk menciptakan sistem pendidikan tinggi yang lebih transparan dan akuntabel.

0 Komentar